Nasihat-nasihat
Cerpen AA Navis
Ketika Hasibaun,
anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan penuh
perhatian ia mendengarkan. Memang selama wajahnya kalihatan sungguh-sungguh,
bila setiap orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta sekedar nasihat yang
berharga. Sikapnya ini menyenangkan hati orang. Sedang rambut dan kumisnya yang
lebat dab telah putih seluruhnya itu, memberikan keyakinan dalam setiap hati
yang dilanda kerisauan, bahwa dari padanya saja nasihat yang baik memancar.
Nasihat orang
tua itu selamanya berharga. Karena itu, setiap orang tak berani memulai sesuatu
sebelum diminta nasihatnya. Dan jikalau orang lupa meminta nasihat kepadanya,
mereka itu merasa berdosa sekali. Namun demikian, biar orang lupa dan tak butuh
nasihatnya pun, ia mampu memperlihatkan kebesaran jiwanya. Cepat-cepat ia
memberikan nasihatnya. Dengan penuh kesungguhan dan dengan segala pertimbangan
yang sangat masuk akal.
Pada setiap
perkumpulan namanya pastilah tercantum sebagai penasihat. Kalau tidak diminta,
ia sendiri akan menawarkan dirinya. Dan tak satu pun dari perkumpulan itu yang
menolak. Meski di antara perkumpulan itu saling berlawanan asas.
Dan ketika
Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya
demikian hilang akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Sealanya dipandangnya
berat, walau kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek bengek saja.
"Itulah
semua," ujar Hasibuan dengan nada putus asa. "Berilah aku nasihat.
Apa yang harus kulalkukan lagi?"
Sebagaimana
mestinya, orang tua itu tidak lantas meluncurkan nasihatnya yang keramat. Lebih
dulu ia lepaskan punggungnya ke sandaran sofa dengan selelahnya. Diisapnya lagi
cangklongnya beberapa kali. Dan asapnya yang mengepul dari bawah hidung,
dipandangnya beberapa jurus. Seolah pada asap itu terlukis segala ilham
nasihatnya.
"Ini memang
sulit," katanya dengan pasti. "Apabila kau betul-betul menurutkan
nasihatku, tidaklah akan sulit benar. Mudah benar mengatasinya."
Anak muda itu
tidak bergerak dari sikapnya semula, meski ia gelisah benar oleh lambatnya
orang tua itu bicara.
"Mari kita
mulai dari awal," kata orang tua itu selanjutnya. "Sebenarnya apa
yang kau kemukakan itu, menurut timbanganku, tak mungkin bisa jadi. Coba.
Seorang gadis, ya seorang gadis. Apalagi gadis desa pula. Ia pasti sangat
pemalu. Sopan. Dan halus budinya."
Hasibuan merasa,
bahwa ucapan orang tua itu seperti menuduhnya telah berbicara yang bukan-bukan.
Dan ia mau meyakinkan orang tua itu. Tapi sebelum ia selesai menyusun kalimat
yang hendak di ucapkannya, orang itu berkata lagi. Katanya, "Aku sudah
tua. Sudah banyak pengalaman. Aku sudah mengerti benar segala sifat dan fiil
manusia. Bahkan dari setiap muka seseorang aku dapat membaca segalanya. Tentang
itu aku takkan silap. Percayalah."
Hasibuan jadi
lega hatinya.
"Coba kaubayangkan
kembali. Seorang gadis desa yang seharusnya pemalu, tahu adat, sopan, duduk
disamping seorang laki-laki tidak di kenal di atas bis. Omong-omong sedikit dan
sudah pasti tentang hal-hal yang tidak berarti. Lalu ketika hendak berpisah,
laki-laki itu bertanya, ‘Mau ke mana?’ Dan gadis itu menjawab dengan tegas, ‘Ke
mana Abang, ke sana aku.’ Masya Allah. Tentulah gadis itu gila. Ya, tentulah
dia gila," kata orang tua itu seraya memandang kepada Hasibuan yang duduk
di hadapannya. "Apa kau tak sadar gadis itu gila?"
"Tidak sama
sekali."
"Tentu saja
kau tidak sadar. Karena kau masih terlalu muda. Belum banyak pengalaman.
Percayalah kepadaku, orang tua yang sudah banyak pengalaman ini. Gadis itu
pasti gila. Nah, nasihatku dalam hal ini, begini: Jauhi dia. Elakkan dia bila
bertemu di jalan. Kalau bertemu juga, jangan disahuti tegurannya.
Mudah-mudahan, jika kau ikuti nasihatku ini, Insya Allah kau pasti selamat.
Dunia akhirat."
Hasibuan
bertanya pada dirinya sendiri. Dapatkah ia mengikuti nasihat orang tua itu?
Kemarin gadis itu, yang sampai saat itu tak pula diketahui namanya, duduk
disampingnya di atas bis. Setelah omong-omong yang tidak berarti, tiba-tiba
gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahunya. Bilang, kepalanya sakit benar. Dan
hati mudanya menyuruh memeluk gadis itu. Dan dipeluknya gadis itu. Kemudian,
gadis yang tak hendak berpisah lagi dengan dia itu, ditumpangkannya ke rumah
seorang kenalannya di tepi kota. Dan pada gadis itu ia sudah berjanji hendak
menemuinya besok pagi.
Ketika pagi
datang, sebelum ia menemuinya, lebih dulu ia bicara kepada orang tua itu untuk
meminta nasihatnya. Nasihat orang tua itu diikutinya. Tak jadi ia menemui gadis
itu.
"Bagaimana?"
tanya orang tua itu ketika mereka sedang makan siang.
"Tak aku
temui dia."
"Bagus.
Bagus," kata orang tua itu gembira. "Nasihatku, nasihat orang tua.
Nasihat orang tua itu pasti benar, karena orang tua itu telah lama hidup dan
banyak pengalaman."
"Tapi, Pak,
jam sembilan tadi, dia yang datang menemuiku di kantor."
"Tentu saja
kau lari terbirit-birit. Ha ha ha. Tampak-tampak saja olehku, bagaimana kau
melarikan diri. Ke dalam kakus tentu, ya? Ha ha ha. Dan, ya betapa lucunya itu.
Gadis itu tentu dengan sia-sia saja menunggumu, bukan? Dapat saja kubayangkan,
bagaimana kecewanya meninggalkan kantormu."
"Tidak.
Tidak seperti itu."
"Hah? Jadi
kau bertemu juga?"
"Ya. Ketika
pesuruh kantor memberi tahu, ada tamu untukku, aku tak kira dia yang datang.
Ketika ia melihatku ia menangis tersedu-sedu. Hingga semua orang di kantor jadi
tahu persoalanku. Aku malu sekali. Dan gadis itu, meski bagaimana aku katakan,
tak hendak pergi. Lalu kemudian….."
"Lalu
kemudian?" sela orang tua itu dengan rasa ingin tahunya.
"Aku
antarkan dia kembali ke rumah kenalanku itu."
Orang tua itu
begitu kecewanya. Dipandangnya Hasibuan tenang-tenang, seperti hendak menaksir
isi kepalanya. Diletakkan sendok garpunya. "Kalau kemarin, dia kaubawa ke
rumah kenalanmu itu, itu pantas. Karena hari sudah malam. Tapi sekarang, hari
sudah siang. Dia sudah bisa pulang ke rumah orang tuanya di desa. Ada kau suruh
dia pulang ke rumah orang tuanya?"
"Malah
kuberi dia ongkos?"
"Tapi dia
tidak mau?"
"Ya. Dia
tak mau. Uangku tak diterimanya. Dia menangis terus. Aku kehilangan akal. Tak
tahu aku apa yang harus kuperbuat lagi. Lalu, supaya jangan bikin rewel di
kantor, aku bawa kembali ke rumah kenalanku itu. Waktu itu, Pak, aku
mendoa-doakan agar aku bisa ketemu Bapak. Biar aku dapat nasihat Bapak."
Mendengar
kalimat terakhir itu, hilanglah sinar mata kecewa orang tua itu. Diambilnya
lagi sendoknya. Dan dia makan lagi. Ia mngunyah lambat sekali, sambil
merenung-renung juga. Lama kemudian ia berkata lagi, "Hm. Seorang gadis.
Gadis desa pula. Yang mestinya pemalu, tahu adat, berkesopanan tinggi, tidaklah
akan mau berbuat demikian. Tentunya dia itu gila. Atau sekurang-kurangnya
berbuat gila-gilaan. Tentu ada sebabnya. Sangkamu apa sebabnya?"
"Tak dapat
aku menyangka apa-apa. dia hanya terus menangis bila di dekatku. Dia tak bicara
apa-apa kepadaku."
"Barangkali
kepada kenalanmu itu dia ada bercerita?"
"Kepada
kenalanku itu, tidak. Kepada istrinya, ada. Katanya, dia tak hendak pulang ke
rumah orang tuanya. Ibunya sudah lama mati. Ketika ia masih kecil benar. Lalu
ayahnya kawin lagi. Tiga tahun yang lalu ayahnya meninggal pula. Dua hari yang
lalu, ibu tirinya marah-marah kepadanya. Dan mengusirnya pergi. Ia pergi ke
Padang. Tiba di Padang, dia tak tahu mau ke mana. Lalu kembali lagi dia ke
sini."
"Omong
kosong. Itu cerita licik. Cerita yang hanya di karangnya saja, untukmenarik
kasihan hati orang. Coba kaukira, ini negeri Minangkabau tidak akan mungkin itu
terjadi. Minangkabau berpagar adat. Taruhlah dia benar diusir ibu tirinya, tapi
dia masih punya ninik mamak. Dan ninik mamak-nya pastilah takkan membiarkan
keponakannya hidup tersia-sia. Apalagi keponakannya itu, seorang gadis. Tahulah
kalau dia pergi tanpa setahu ninik mamak-nya. Biasanya, di negeri Minangkabau
yang beradat, jika hilang bercari, jika tenggelam di selami. Takkan dibiarkan
anak gadis yang sebesar itu pergi begitu saja. Di sini Minangkabau, Hasibuan.
Minangkabau, Hasibuan. Minangkabau yang adatnya tinggi. Tak lekang oleh panas,
tak lapuk oleh hujan. Tidak terpikirkan olehmu sampai sekian jauh?"
"Tidak,"
kata anak muda itu dengan suara yang kedengarannya melukiskan bimbang hatinya.
"Tentu saja
kau tak sampai berpikir sejauh itu," kata orang tua itu pula, "Kau
masih muda. Sedang aku sudah tua. Sudah lama hidup dan banyak pengalaman. Aku
sudah tahu betul akan kongkalikong hidup manusia ini."
Di pandangnya
Hasibuan tenang-tenang, dengan perasaan hati yang puas akan keunggulan dirinya.
Tapi kemudian ia meneruskan menambah keunggulannya. Katanya, "Ada hal-hal
yang menyebabkan ia tak mau kembali ke kampungnya, menurut sangkamu? Apa tidak
terpikirkan olehmu, sebabnya dia tak mau kembali itu, karena memangnya dia
telah diusir orang kampungnya?"
"Apa
kira-kira kemungkinannya lagi, Pak?"
"Kemungkinannya
banyak. Di antaranya minta penyelidikan, yang mana yang lebih benar dari segala
macam kemungkinan itu. Tapi bertengkar dengan ibu tiri, terang itu bukan suatu
alasan untuk lari. Menurut hematku, gadis itu mungkin tidak gadis lagi.
Kegadisannya telah diambil atau diberikannya kepada seorang laki-laki. Kemudian
ketahuan. Tapi laki-laki itu tak hendak mengakuinya. Karena malu, dia lari ke
Padang. Kemudian dia bertemu dengan engkau. dan punya pekerjaan kantor.
Mengerti kau maksudku? Tidak? Siapa tahu, barangkali dia sedang memasang
perangkap untukmu."
"Tidak
mungkin sampai demikianbenar," katra Hasibuan mengemukakan pendapatnya.
Tapi cepat kemudian ia seperti terkejut oleh ucapannya sendiri. Dan kepalanya
tertekur menyembunyikan muka merahnya.
"Nah,
ucapanmu itu, sudah menunjukkan betapa mudamu. Mukamu, gerakmu, dapat aku baca,
seperti aku membaca koran saja. Itu saja takkan silap," kata orang tua itu
seraya menusuk sepotong daging dengan garpunya. "Coba bayangkan,"
katanya seterusnya, setelah daging itu diletakkan di piringnya. "Seorang
gadis desa yang seharusnya pemalu, gadis Minang lagi, dengan begitu saja
menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang baru dua jam dikenalnya."
Ditatapnya lagi wajah anak muda itu, hendak tahu apakah kata-katanya telah
cukup nyata terbayang olehnya. Setelah ia merasa bahwa kata-katanya cukup
terbayang, di sambung lagi perkataannya, "Buaya itu, Hasibuan, bukan
jantan saja jenisnya. Mengerti kau. Siapa tahu, barangkali dia sedang
mengakalimu. Sedang memikatmu supaya kaukawini dia. Karena mungkin jadi sudah
hamil. Sekurang-kurangnya, dia hendak mengorek isi kantungmu sampai tandas. Itu
paling kurang. Nasihatku dalam hal ini, begini. Meski dia menangis sampai
mengeluarkan air mata darah, jangan kaupeduli. Serahkan dia pada polisi.
Titik."
"Menyerahkan
dia pada polisi?" tanya anak muda itu tercengang.
"Bukan
untuk memenjarakannnya. Tapi untuk menyerahkan kembali ke keluarganya. Karena
kau tidak kenal orang tuanya, bukan? Dan dia tidak hendak kembali ke orang
tuanya itu. Sebab aku melihat sesuatu yang lebih buruk lagi bakal menimpa kau.
Jadi sebelum hal itu terjadi, secepatnya kauberitahukan kepada polisi. Tambah
cepat, tambah baik."
Mendengar
nasihat itu, nasi yang terakhir tak dapat dilulurnya lagi. Meski nasi itu
sedikit dan telah begitu lumatnya. Diminumnya air cepat-cepat, hingga ia
tersedak.
Orang tua itu
menyangka, setelah tiga hari berlalu, persoalan Hasibuan beres sudah. Menurut
sangkanya, gadis itu telah kembali ke keluarganya. Atau sudah masuk rumah sakit
gila. Karena selama tiga hari itu, tiada tanda-tanda adanya kesulitan pada air
muka Hasibuan. Dan ia sebagai orang tua, tak hendak menyinyiri urusan orang
lain. Anak muda itu sendiri, tampaknya tak lagi hendak bicara tentang soal itu.
Ia yakin benar, nasihatnya telah diikuti dengan betul, hingga soalnya sudah
lewat seperti angin lalu.
Tapi pada hari
keempat, Hasibuan pulang dari kantornya membawa kegugupan. Sangkanya, tentu
anak muda itu mendapat kesukaran lain yang berhubungan dengan pekerjaan kantor
saja. Ia menunggu anak muda itu meminta nasihatnya yang berharga lagi. Tapi
alangkah jengkelnya dia, ketika Hasibuan menceritakan kesukarannya itu masih
berkisar pada soal gadis itu juga.
"Jadi kau
dituduh keluarganya telah menyembunyikan gadis itu? Dan kau dipaksa untuk
mengawininya? Ini tentang suatu pemerasan. Ha," kata orang tua itu.
Kemudian disandarkannya lagi punggungnya ke kursi dan diisap lagi
cangklongnya."Keluarganya yang datang ke kantormu tadi itu, tentu tidak
seorang, bukan? Tentu tiga orang sekurang-kurangnya."
"Lima
orang," kata anak muda itu cepat.
"Semuanya
tentu laki-laki. Lai-laki itu tentu seperti kingkong besarnya, bukan?"
"Demikianlah."
"Nah ini
terang suatu pemerasan. Tidak boleh tidak," katanya lagi. Kemudian
punggungnya yang tersandar ditariknya lagi. Dicabutnya cangklong dari mulutnya,
lalu ditodongkan kepada Hasibuan, seraya berkata, "Kau seorang laki-laki.
Seorang laki-laki tak dapat dipaksa oleh siapapun untuk mengawini seorang
perempuan, kalau ia tak mau. Apalagi kalau laki-laki itu tidak pernah
mengganggu perempuan itu. Kau tidak pernah mengganggu gadis itu,bukan?"
"Tidak
pernah," jawab anak muda itu.
"Nah, kau
dipihak yang benar. Meski perkaramu ini akan sampai ke pengadilan sekalipun,
tak satupun pengadilan yang mampu menghukum. Malah kau pun dapat menuduh mereka
itu ke pengadilan. Jangan kau takut. Kau dapat mengadukan mereka itu ke polisi
dengan tuntutan pemerasan dan ancaman. Nanti, bila perlu kutolong kau. Aku
kenal kepala polisi di sini. Kenal baik. Jaksa, anak temanku sedari kecil. Nah,
nasihatku dalam hal ini, jangan kautunjukkan dirimu mempan oleh gertakan kepada
buaya-buaya itu. Jika perlu kau pun dapat mengeluarkan ancaman kepada mereka.
Jangan persukar soal itu dalam pikiranmu. Persenang sajalah hati."
Tapi hati anak
muda itu tak dapat disenangkannya. Ia begitu gelisah. Ada hal-hal yang hendak
dikatakannya lagi. Karena ia tak pernah menyerahkan gadis itu kepada polisi.
Malah, baru saja ia menyuruh gadis itu pulang ke keluarganya di desa, gadis itu
telah meraung-raung seraya memagut kakinya erat-erat. Meminta belas kasihannya
agar membiarkan dia tetap di situ, di sampingnya. Dan hatinya jadi lintuh. Dan
bersamaan dengan itu hatinya pun jatuh pula kepada gadis itu. Itu hendak
dikatakannya kepada orang tua itu, tapi ia tak berani mengatakannya.
Kegelisahannya
itu dilihatnya. Lalu ia berkata lagi meluncurkan nasihatnya: "Ah, tak usah
gelisah, ikutilah nasihatku. Nasihat orang tua. Dan orang tua, seperti aku ini,
telah lama hidup dan telah banyak pengalaman. Tak usah gelisah. Nanti aku tulis
surat kepada kepala polisi, temanku itu. Aku minta ia menjaga keselamatanmu
dari pemerasan dan ancaman itu. Senang sajalah."
Namun hati anak
muda itu belum juga tentram. Itu dilihat oleh orang tua itu, maka tersenyumlah
ia. Seperti sdnyuman seorang insinyur melihat perdebatan kuli-kuli tentang
suatu bangunan. Tapi sebagai orang tua yang telah banyak makan asam garam
kehidupan, ia tidak hendak melecehkan kesukaran orang lain. Meski kesukaran itu
hanyalah tetek bengek belaka. Dan senyumnya lekas-lekas dikulumnya. Dan sebagai
orang tua, yang lebih tahu segala hal, ia dapat memahami betapa kesukaran itu
mengamuki hati seseorang. Karena itu ia pun tahu bagaimana menasihatinya,
hingga nasihatnya menjadi benar-benar berharga dan dapat diikuti dengan mudah.
Menurut sangkanya, anak muda itu sedang dalam keadaan terjepit. Ia tahu,
Hasibuan sedang dalam percintaan dengan seorang gadis. Itu dapat dilihatnya
kemarin malam. Hasibuan berjalan demikian mesranya di samping gadis itu.
Taksirannya, kalau gadis itu tahu betapa halnya Hasibuan dengan gadis desa yang
ditemuinya di atas bis dulu itu, tentu si gadisnya ini akan menyayangkan
hal-hal yang bukan-bukan.
"Haa,"
katanya tiba-tiba. "Aku tahu kesukaranmu yang selalu menggelisahkanmu itu.
Jangan kausangsikan. Ikutilah nasihatku. Aku dapat mengerti segala hati. Karena
aku sudah tua, telah lama hidup dan sudah banyak pengalaman. Pada air mukamu
yang muda itu, dapat aku baca semua. Mengaku sajalah kepadaku. Jangan
bersembunyi lagi, kepada orang tua ini. Takkan baik akibatnya. Mengaku sajalah.
Kau sedang bercinta dengan seorang gadis, bukan? Ah, jangan membantah. Kau
bawalah gadis itu ke sini. Dan jangan lupa, gadis yang sedang mencuri hatimu
itu. Bawa dia kesini. Nanti aku dapat menyelesaikan kesukaranmu dengan mudah.
Ikutilah nasihatku. Nasihat orang tua yang telah banyak pengalaman ini. Bawa
dia besok, ya."
Gembira benar
hati orang tua itu, ketika Hasibuan membawa gadis itu ke rumahnya untuk
diperkenalkan kepadanya. Banyaklah bicara dan ketawanya. Banyaklah
nasihat-nasihat tentang kehidupan rumah tangga. Di saat yang seperti itu, orang
tua itu memanglah merupakan orang tua yang paling menyenangkan.
Dan ketika ia
sedang berdua saja di ruang tamu, orang tua itu mengalih duduk di dekat
Hasibuan. Seperti ada suatu rahasia saja, ia bicara dengan berbisik.
"Pilihanmu tepat kali ini. Cantiknya, melebihi gadismu yang khianat dulu.
Lihatlah. Tentang ini aku tidak silap. Perhatikanlah. Ketika dia datang tadi,
ia salami aku. Itu biasa. Tapi dia terus menanyakan Ibumu dan menemuinya ke
belakang. Ini luar biasa. Tertibnya bagus sekali. Kemudian dia sendiri yang
menating teh buat kita, seperti rumah ini rumah orang tuanya saja. Ini sungguh
menakjubkan. Anak baik dia ini. Dalam seribu, jarang satu seperti dia. Meskipun
begitu, mataku yang tua ini, mata yang telah banyak melihat ini, masih dapat
menangkap suatu kekurangannya. Dalam hal ini aku tak silap. Kekurangannya itu
masih dapat diperbaiki. Asal dia mau mengikuti nasihat-nasihatku kelak."
Setelah ia
menghidupkan api cangklongnya, orang tua itu meneruskan bicaranya.
"Dengarlah nasihatku lagi. Nasihat orang tua yang banyak pengalaman ini.
Nasihatku, kawini dia lekas. Jangan tunggu lama. Jangan biarkan angin jahat
masuk, seperti yang pernah kaualami dulu."
"Memang
rencanaku demikian, Pak," kata anak muda itu.
"Bagus.
Bagus. Tapi nasihatku dalam hal ini, jangan kau yang meminang dia ke orang tuanya.
Birkan orang tuanya yang meminang kau, seperti adat Minangkabau," kata
orang tua itu.
"Keluarganya
sudah datang kepadaku."
Tiba-tiba orang
tua itu seperti kena listrik. Ia merasa seolah-olah telah dilampaui begitu
saja. Tapi pikirnya kemudian, barangkali Hasibuan belum memberi putusan kepada
keluarga gadis itu. Tak percaya ia, bahwa Hasibuan akan memutuskan begitu saja
tanpa minta nasihatnya.
"Tapi aku
percaya," katanya kemudian setelah ia dapat menguasai dirinya lagi.
"Kau tentu cukup bijaksana, bukan?"
"Ya.
Sebagaimana nasihat Bapak, perkawinan akan dilaksanakan dalam minggu ini
juga." Hasibuan berkata tanpa memperhatikan gelagat orang tua yang sekali
lagi disengat listrik. Tak tahu ia muka orang sudah jadi pucat dan badannya
gemetar. Lalu katanya lagi, "Gadis itulah yang kutemui dalam bis baru-baru
ini, Pak."
Sekarang listrik
yang menyengat naik beberapa kilowatt lagi. Mukanya yang pucat jadi biru.
Ditatapnya Hasibuan dengan mata tajamnya lalu cepat ia berdiri dari duduknya.
Dan bibirnya bergerak-gerak seperti hendak memaki.
Tapi Hasibuan
yang tidak melihat perubahan itu, bertanya lagi dengan wajah yang malu tersipu:
"Apa nasihat bapak dalam hal ini?"
Sekali ini
nasihat itu tak keluar dari melalui mulutnya yang peramah, seperti biasanya.
Hanya pintu kamar tidurnya yang berdentang kencang dibantingnya dari dalam.
Analisis cerpen Nasihat-nasihat karya A.A Navis
1.
Analisis
Judul
a.
Tokoh:
Seorang anak muda yang bernama Hasibuan mengalami sebuah masalah
dan menceritakan kesulitannya kepada
orang tua untuk meminta nasihat.
“Ketika
Hasibaun, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya,
dengan penuh perhatian ia mendengarkan. Memang selama wajahnya kalihatan
sungguh-sungguh, bila setiap orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta
sekedar nasihat yang berharga. Sikapnya ini menyenangkan hati orang. Sedang
rambut dan kumisnya yang lebat dab telah putih seluruhnya itu, memberikan
keyakinan dalam setiap hati yang dilanda kerisauan, bahwa dari padanya saja
nasihat yang baik memancar.”
“Dan
ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan
kesulitannya demikian hilang akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Sealanya
dipandangnya berat, walau kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek bengek
saja.”
·
Kesimpulan Analisis:
Jadi
judul pada cerpen nasihat-nasihat dapat dijelaskan dari tokoh.
2. Analisis
Tema
Nasihat-nasihat
yang diberikan oleh orang tua kepada seorang pemuda(Hasibuan) yang sedang
mengalami masalah.
“Dan
ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan
kesulitannya demikian hilang akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Sealanya
dipandangnya berat, walau kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek bengek
saja.”
“Htulah
semua," ujar Hasibuan dengan nada putus asa. "Berilah aku nasihat.
Apa yang harus kulalkukan lagi?”
“Sebagaimana
mestinya, orang tua itu tidak lantas meluncurkan nasihatnya yang keramat. Lebih
dulu ia lepaskan punggungnya ke sandaran sofa dengan selelahnya. Diisapnya lagi
cangklongnya beberapa kali. Dan asapnya yang mengepul dari bawah hidung,
dipandangnya beberapa jurus. Seolah pada asap itu terlukis segala ilham
nasihatnya.”
3. Analisis
Perwatakan/Penokohan
a. Hasibuan:
Bimbang, mudah putus asa, dan tidak punya pendirian.
“Dan
ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan
kesulitannya demikian hilang akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Sealanya
dipandangnya berat, walau kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek bengek
saja.”
“Itulah
semua," ujar Hasibuan dengan nada putus asa. "Berilah aku nasihat.
Apa yang harus kulalkukan lagi?"
“Hasibuan
bertanya pada dirinya sendiri. Dapatkah ia mengikuti nasihat orang tua itu?
Kemarin gadis itu, yang sampai saat itu tak pula diketahui namanya, duduk
disampingnya di atas bis. Setelah omong-omong yang tidak berarti, tiba-tiba
gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahunya. Bilang, kepalanya sakit benar. Dan
hati mudanya menyuruh memeluk gadis itu. Dan dipeluknya gadis itu. Kemudian,
gadis yang tak hendak berpisah lagi dengan dia itu, ditumpangkannya ke rumah
seorang kenalannya di tepi kota. Dan pada gadis itu ia sudah berjanji hendak
menemuinya besok pagi.”
b. Orang
tua: Seseorang yang bijaksana karena telah berpengalaman
"Tentu
saja kau tidak sadar. Karena kau masih terlalu muda. Belum banyak pengalaman.
Percayalah kepadaku, orang tua yang sudah banyak pengalaman ini. Gadis itu
pasti gila. Nah, nasihatku dalam hal ini, begini: Jauhi dia. Elakkan dia bila
bertemu di jalan. Kalau bertemu juga, jangan disahuti tegurannya.
Mudah-mudahan, jika kau ikuti nasihatku ini, Insya Allah kau pasti selamat.
Dunia akhirat."
4. Analisis
Konflik
4.1 Internal
Konflik
batin yang dialami tokoh, dalam cerpen nasihat-nasihat ini hanya tokoh utama
saja yang mengalami konflik batin.
“Tapi
pada hari keempat, Hasibuan pulang dari kantornya membawa kegugupan. Sangkanya,
tentu anak muda itu mendapat kesukaran lain yang berhubungan dengan pekerjaan
kantor saja. Ia menunggu anak muda itu meminta nasihatnya yang berharga lagi.
Tapi alangkah jengkelnya dia, ketika Hasibuan menceritakan kesukarannya itu
masih berkisar pada soal gadis itu juga.
"Jadi
kau dituduh keluarganya telah menyembunyikan gadis itu? Dan kau dipaksa untuk
mengawininya? Ini tentang suatu pemerasan. Ha," kata orang tua itu. Kemudian
disandarkannya lagi punggungnya ke kursi dan diisap lagi
cangklongnya."Keluarganya yang datang ke kantormu tadi itu, tentu tidak
seorang, bukan? Tentu tiga orang sekurang-kurangnya."
"Nah
ini terang suatu pemerasan. Tidak boleh tidak," katanya lagi. Kemudian
punggungnya yang tersandar ditariknya lagi. Dicabutnya cangklong dari mulutnya,
lalu ditodongkan kepada Hasibuan, seraya berkata, "Kau seorang laki-laki.
Seorang laki-laki tak dapat dipaksa oleh siapapun untuk mengawini seorang
perempuan, kalau ia tak mau. Apalagi kalau laki-laki itu tidak pernah
mengganggu perempuan itu. Kau tidak pernah mengganggu gadis itu,bukan?"
Orang
tua itu begitu kecewanya. Dipandangnya Hasibuan tenang-tenang, seperti hendak
menaksir isi kepalanya. Diletakkan sendok garpunya. "Kalau kemarin, dia
kaubawa ke rumah kenalanmu itu, itu pantas. Karena hari sudah malam. Tapi
sekarang, hari sudah siang. Dia sudah bisa pulang ke rumah orang tuanya di
desa. Ada kau suruh dia pulang ke rumah orang tuanya?"
"Malah
kuberi dia ongkos?"
"Tapi
dia tidak mau?"
"Ya.
Dia tak mau. Uangku tak diterimanya. Dia menangis terus. Aku kehilangan akal.
Tak tahu aku apa yang harus kuperbuat lagi. Lalu, supaya jangan bikin rewel di
kantor, aku bawa kembali ke rumah kenalanku itu. Waktu itu, Pak, aku
mendoa-doakan agar aku bisa ketemu Bapak. Biar aku dapat nasihat Bapak."
·
Kesipulan Analisis
Jadi
dapat disimpulkan bahwa didalam cerpen nasihat-nasihat hanya terdapat satu
konflik yaitu konflik internal/batin saja.
5. Analisis
Latar
5.1 Latar
Sosial
"Omong
kosong. Itu cerita licik. Cerita yang hanya di karangnya saja, untuk menarik
kasihan hati orang. Coba kaukira, ini negeri Minangkabau tidak akan mungkin itu
terjadi. Minangkabau berpagar adat. Taruhlah dia benar diusir ibu tirinya, tapi
dia masih punya ninik mamak. Dan ninik mamak-nya pastilah takkan membiarkan
keponakannya hidup tersia-sia. Apalagi keponakannya itu, seorang gadis. Tahulah
kalau dia pergi tanpa setahu ninik mamak-nya. Biasanya, di negeri Minangkabau
yang beradat, jika hilang bercari, jika tenggelam di selami. Takkan dibiarkan
anak gadis yang sebesar itu pergi begitu saja. Di sini Minangkabau, Hasibuan.
Minangkabau, Hasibuan. Minangkabau yang adatnya tinggi. Tak lekang oleh panas,
tak lapuk oleh hujan. Tidak terpikirkan olehmu sampai sekian jauh?"
"Bagus.
Bagus. Tapi nasihatku dalam hal ini, jangan kau yang meminang dia ke orang
tuanya. Birkan orang tuanya yang meminang kau, seperti adat Minangkabau,"
kata orang tua itu.
·
Kesimpulan Analisis
Dari
beberapa kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar sosial adalah
adat istiadat Minang kabau atau Padang.
6. Analisis
Alur
6.1 Alur
Maju
Menceritakan dari awal
hingga ahkir cerita
6.1.1
Awal Cerita
“Ketika Hasibaun, anak muda yang
menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan penuh perhatian ia
mendengarkan. Memang selama wajahnya kalihatan sungguh-sungguh, bila setiap
orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta sekedar nasihat yang berharga.
Sikapnya ini menyenangkan hati orang. Sedang rambut dan kumisnya yang lebat dab
telah putih seluruhnya itu, memberikan keyakinan dalam setiap hati yang dilanda
kerisauan, bahwa dari padanya saja nasihat yang baik memancar.”
6.1.2
Pertengahan
"Jadi kau dituduh keluarganya telah
menyembunyikan gadis itu? Dan kau dipaksa untuk mengawininya? Ini tentang suatu
pemerasan. Ha," kata orang tua itu. Kemudian disandarkannya lagi
punggungnya ke kursi dan diisap lagi cangklongnya."Keluarganya yang datang
ke kantormu tadi itu, tentu tidak seorang, bukan? Tentu tiga orang
sekurang-kurangnya."
"Lima orang," kata anak muda
itu cepat.
"Semuanya tentu laki-laki. Lai-laki
itu tentu seperti kingkong besarnya, bukan?"
"Demikianlah."
6.1.3
Akhir Cerita
"Ya.
Sebagaimana nasihat Bapak, perkawinan akan dilaksanakan dalam minggu ini
juga." Hasibuan berkata tanpa memperhatikan gelagat orang tua yang sekali
lagi disengat listrik. Tak tahu ia muka orang sudah jadi pucat dan badannya
gemetar. Lalu katanya lagi, "Gadis itulah yang kutemui dalam bis baru-baru
ini, Pak."
Sekarang
listrik yang menyengat naik beberapa kilowatt lagi. Mukanya yang pucat jadi
biru. Ditatapnya Hasibuan dengan mata tajamnya lalu cepat ia berdiri dari
duduknya. Dan bibirnya bergerak-gerak seperti hendak memaki.
Tapi
Hasibuan yang tidak melihat perubahan itu, bertanya lagi dengan wajah yang malu
tersipu: "Apa nasihat bapak dalam hal ini?". Sekali ini nasihat itu
tak keluar dari melalui mulutnya yang peramah, seperti biasanya. Hanya pintu kamar
tidurnya yang berdentang kencang dibantingnya dari dalam.
·
Kesimpulan Analisis
Jadi
alur pada cerpen nasihat-nasihat yang digunakan adalah alur maju karena
diceritakan mulai awal hingga ahkir cerita, yaitu permasalahan tokoh Hasibuan.
7. Analisis
Unsur Ekstrinsik
Analisis
Unsur ekstrinsik pada cerpen nasihat-nasihat adalah sosial budaya atau adat
istiadat masyarakat Minangkabau.
"Omong
kosong. Itu cerita licik. Cerita yang hanya di karangnya saja, untuk menarik
kasihan hati orang. Coba kaukira, ini negeri Minangkabau tidak akan mungkin itu
terjadi. Minangkabau berpagar adat. Taruhlah dia benar diusir ibu tirinya, tapi
dia masih punya ninik mamak. Dan ninik mamak-nya pastilah takkan membiarkan
keponakannya hidup tersia-sia. Apalagi keponakannya itu, seorang gadis. Tahulah
kalau dia pergi tanpa setahu ninik mamak-nya. Biasanya, di negeri Minangkabau
yang beradat, jika hilang bercari, jika tenggelam di selami. Takkan dibiarkan
anak gadis yang sebesar itu pergi begitu saja. Di sini Minangkabau, Hasibuan.
Minangkabau, Hasibuan. Minangkabau yang adatnya tinggi. Tak lekang oleh panas,
tak lapuk oleh hujan. Tidak terpikirkan olehmu sampai sekian jauh?"
"Bagus.
Bagus. Tapi nasihatku dalam hal ini, jangan kau yang meminang dia ke orang
tuanya. Birkan orang tuanya yang meminang kau, seperti adat Minangkabau,"
kata orang tua itu.